Senin, 04 Agustus 2014

Once upon time ago, there was a small kingdom in Village we called as Kalianget Village in Buleleng Regency. Once upon a day the Kalianget kingdom was suffered by a dangerous disease that cause most of the people died. The whole kingdom was in a deep sadness, then the king of Kalianget decided to have trip to entertain himself after the disease was over. It was said that he lost all of his family, at a cross road he met a child who was crying for the death of his parents and his brothers. The king adopted the boy to be his son because of losing all his children. He took the boy to the palace and tought him to be a soldier to service the kingdom in the future. The boy was name is Jayaprana. When the boy had got adult he became a handsome and powerful soldier. Although he was a beloved soldier to the king, Jayaprana was a simple person, he dedicated his life to the kingdom especially to the king.

Then, the time had come. Jayaprana fell in love with beauty a girl that meet at garden    . The girl was Layonsari. Layonsari also fell in love with Jayaprana. they were married  and this was a happy news to the whole Kalianget kingdom. It was such a happy atmosphere surrounding the kingdom especially for the married couple. But the king do not agree. When the king met with Layonsari, he suddenly fell in love with Layonsari when Layonsari had been Jayaprana's wife. He was really obsesive to Layonsari though he realised that Layonsari had been to be Jayaprana's wife. To have Layonsari to be his wife he had to kill Jayaprana.

The king set up a plan to kill Jayaprana by ordered him going to the forest near the sea to kill the intruders/robbers accompanied by his guards. With this strategy the king hoped he could gave Jayaprana away from his wife and he could persuaded Jayaprana's wife to be his wife. Jayaprana went to the forest although his wife had told him about her bad sign for his journey. He accompanied by Patih Sawung Galing, the head guard of the kingdom.
 Kementrian Pendidikan dan kebudayaan akan mewacanakan menghapus penjurusan di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Dengan begitu, sistem penjurusan dalam tiga kelompok IPA, IPS, dan Bahasa di tingkat SMA yang telah diterapkan bertahun-tahun hingga sekarang, akan dihilangkan dan digantikan dengan kelompok peminatan. Mendikbud M. Nuh menegaskan alasan penghapusan itu karena pelajaran SMA masih subjek umum sehingga siswa lebih baik diberikan kebebasan memilih mata pelajaran yang sesuai keinginan dan minat masing-masing. Sistem ini juga untuk menghilangkan diskriminasi saat lulusan SMA mendaftar ke perguruan tinggi. Siswa jurusan IPA bisa mendaftar ke program studi sosial dan bahasa, sedangkan siswa jurusan IPS tidak bisa mendaftar ke program studi eksata. Pengkotakan atau dikotomi inilah yang diharapkan pemerintah tidak terjadi lagi, dengan penghapusan jurusan tersebut.
            Namun penghapusan jurusan di SMA ini masih dalam tahap uji publik karena menimbulkan kontroversi di masyarakat. Pasalnya kurikulum yang berjalan saat ini sudah tersistem dan terkoneksi dengan kurikulum di perguruan tinggi. Perubahan ini harus diikuti penyesuain pola penerimaan di perguruan tinggi. Belum lagi perbedaan prasarana pendidikan antara kota dan daerah yang masih sangat kontras, serta kualitas guru atau tenaga pengajar yang masih berada di bawah standar kompetensi. Faktor tenaga pengajar merupakan hal vital harus dibenahi, sebelum kurikulum baru tersebut diterapkan. Gurulah yang menjadi penentu berjalan atau tidaknya program tersebut.
            Bercermin dari rendahnya hasil Ujian Kompetensi Guru (UKG) lalu, tentu diperlukan kerja keras dan waktu yang cukup untuk meningkatkan kualitas guru agar mampu mengikuti model pengajaran baru yang rencananya sudah diterapkan 2013. Ini merupakan salah satu pekerjaan rumah yang harus menjadi prioritas untuk disiapkan pemerintah guna menunjang penerapan kurikulum baru disamping faktor penunjang lainnya. Untuk menyusun kurikulum baru diperlukan ketelitian dan kejelian. Perumusan kurikulum harus disesuaikan dengan tantangan yang dihadapai dan sumber daya manusia yang kita miliki. Selama ini pemerintah dan sekolah lebih disibukkan dengan aturan, proyek dan pengadaan fasilitas, sebaliknya jarang memikirkan cara belajar yang efektif bagi siswa. Senada, guru-guru justru berlomba-lomba memperjuangkan bagaimana mendapatkan tunjungan insentif dan melupakan kewajiban untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
            Program pendidikan di sekolah-sekolah seperti jalan sendiri-sendiri tanpa pengawasan dan kontrol sehingga berdampak terhadap rendahnya kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan kita memang masih tertinggal dan jauh di bawah negara-negara lain. Nah, dengan penerapan kurikulum baru tersebut, diharapkan bisa mendongkrak kualitas pendidikan dan menghasilkan generasi muda mampu menghadapi perubuhan dunia yang begitu cepat. Kurikulum baru boleh saja dilakukan dengan syarat harus disosialisasikan dan telah melewati uji publik yang komprehensif, peningkatan kualitas guru, serta kelengkapan sarana dan prasarana pendukunganya. Jangan sampai penerapan kurikulum baru yang diharapakan mampu mendongkrak kualitas pendidikan di negeri ini, malah merugikan bagi anak didik di kemudian hari.


Sumber : Desi Ayani Ni Kadek dalam Majalah Tika SMA N 1 Amlapura

Popular Posts