Bali , itu sebutan satu kawasan timur Indonesia yang terkenl dengan segi
pariwisata selain budayanya. Di Bali khususnya di Kabupaten Karangasem terdapat
beberapa desa yang terkenal dengan keunikan budayanya.salah satunya Tenganan, Tenganan
adalah sebuah desa tradisional di pulau Bali. Desa ini terletak di
Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem di sebelah timur
pulau Bali. Tenganan bisa dicapai dari tempat pariwisata Candi Dasa
dan letak kira-kira 10 kilometer dari sana. Desa Tenganan merupakan salah satu desa dari
tiga desa Bali Aga, selain Trunyan
dan Sembiran. Yang dimaksud dengan Bali Aga
adalah desa yang masih mempertahankan pola hidup yang tata masyarakatnya
mengacu pada aturan tradisional adat desa yang diwariskan nenek moyang mereka.
Bentuk dan besar bangunan serta pekarangan, pengaturan letak bangunan, hingga
letak pura dibuat dengan mengikuti aturan adat yang secara turun-temurun
dipertahankan.Keseharian kehidupan di desa ini masih diatur oleh hukum adat
yang disebut awig-awig. Hukum tersebut ditulis pada abad ke-11 dan diperbaharui
pada tahun 1842. Rumah adat Tenganan dibangun dari campuran batu merah, batu
sungai, dan tanah. Sementara atapnya terbuat dari tumpukan daun rumbi. Rumah
adat yang ada memiliki bentuk dan ukuran yang relatif sama, dengan ciri khas
berupa pintu masuk yang lebarnya hanya berukuran satu orang dewasa. Ciri lain
adalah bagian atas pintu terlihat menyatu dengan atap rumah.
Penduduk desa ini memiliki tradisi unik dalam
merekrut calon pemimpin desa, salah satunya melalui prosesi adat mesabat-sabatan
biu (perang buah pisang). Calon prajuru desa dididik menurut adat setempat
sejak kecil atau secara bertahap dan tradisi adat tersebut merupakan semacam
tes psikologis bagi calon pemimpin desa. Pada tanggal yang telah ditentukan
menurut sistem penanggalan setempat (sekitar Juli) akan digelar ngusaba sambah
dengan tradisi unik berupa mageret pandan (perang pandan). Dalam acara tersebut,
dua pasang pemuda desa akan bertarung di atas panggung dengan saling sayat
menggunakan duri-duri pandan. Walaupun akan menimbulkan luka, mereka memiliki obat
antiseptik dari bahan umbi-umbian yang akan diolesi pada semua luka hingga mengering
dan sembuh dalam beberapa hari. Tradisi tersebut untuk melanjutkan latihan
perang rutin dan menciptakan warga dengan kondisi fisik serta mental yang kuat.
Selain itu masyarakat tenganan juga mempunyai kerajinan unik yang disebut Kain gringsing, adalah satu-satunya
kain tenun tradisional Indonesia yang dibuat menggunakan teknik teknik dobel
ikat dan memerlukan waktu 2-5 tahun. Kain ini berasal dari Desa Tenganan,
Bali. Umumnya, masyarakat
Tenganan memiliki kain gringsing berusia ratusan tahun yang digunakan dalam
upacara khusus. Kata gringsing berasal dari gring yang berarti 'sakit'
dan sing yang berarti 'tidak', sehingga bila digabungkan menjadi 'tidak
sakit'. Maksud yang terkandung di dalam kata tersebut adalah seperti penolak
bala. Di Bali, berbagai upacara, seperti upacara potong gigi, pernikahan, dan
upacara keagamaan lain, dilakukan dengan bersandar pada kekuatan kain
gringsing.
Penduduk Tenganan telah dikenal
sebagai penganut Hindu
aliran Dewa Indra, yang dipercaya sebagai dewa perang. Masyarakat Tenganan
mengajarkan dan memegang teguh konsep Tri Hita Karana (konsep dalam ajaran
Hindu) dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tri berarti tiga dan Hita
Karana berarti penyebab kebahagiaan untuk mencapai keseimbangan dan
keharmonisan. Tri Hita Karana terdiri dari Perahyangan (hubungan yang seimbang
antara manusia dengan Tuhan), Pawongan (hubungan harmonis antara manusia dengan
manusia lainnya), dan Palemahan (hubungan harmonis antara manusia dengan
lingkungan alam sekitarnya).
Selain Desa Tenganan, terdapat juga desa unik
lain. Adalah Desa Seraya yang terkenal dengan masih berlaku nuansa tradisonal
yang sangat kental. Salah satu keunikan Desa Seraya yaitu tarian ekstrimnya
yang terkenal. Tarian tersebut di kenal dengan Gebug Ende atau Gebug Seraya.
Gebug berarti memukul dengan sekuat tenaga dengan tongkat rotan (penyalin)
sepanjang 1,5 – 2 meter dan Ende berarti tameng yang digunakan untuk menangkis
pukulan. Gebug Ende ini ada unsur seni, seperti seni tari yang dipadukan dengan
ketangkasan para penarinya memainkan tongkat dan tameng, dimana saat atraksi
ini dilakukan, diiringi dengan iringan musik gamelan, yang memacu semangat para
penari untuk saling memukul, menhindar dan menangkis. Saat Gebug Ende
berlangsung bukan hanya untuk memperlihatkan ketangkasan saja, tapi ada
nilai-nilai sakralnya yang dikeramatkan penduduk setempat, tarian Gebug
merupakan kesenian klasik yang digelar setiap musim kemarau dengan tujuan untuk
mengundang turunnya hujan, ritual ini yang diyakini dapat menurunkan hujan,
dimainkan oleh dua orang lelaki baik dewasa maupun anak-anak yang sama-sama
membawa ende dan penyalin. Sebelum Gebug Ende berlangsung terlebih dahulu
diadakan ritual dengan banten atau sesaji, agar permohoanan terkabul. Setelah
siap dua pemain yang dilakukan oleh anak-anak maupun lelaki dewasa, dengan
pakaian adat Bali tanpa memakai baju, akan saling serang yang dipimpin oleh
wasit (saye), antara dua penari di tengah-tengah di batasi oleh tongkat rotan. Sebelumnya
wasit memberi petunjuk dan ketentuan daerah mana saja yang bisa diserang.
Tradisi
Gebug Ende merupakan warisan budaya leluhur yang memang diyakini dapat
menurunkan hujan. Menurut kepercayaan setempat, hujan akan turun apabila
pertandingan mampu memercikan darah. Semakin banyak maka akan semakin cepat
hujan akan turun. Tidak ada waktu tertentu dalam permainan tersebut. Yang jelas
permainan akan berakhir bila salah satu permainan telah terdesak. Tidak ada
kata dendam setelah itu. Tradisi ini memang sudah cukup terkenal, kalau anda
mau wisata di Bali dan ingin menyaksikannya anda coba berkunjung ke daerah
karangasem, belahan Timur pulau Bali.
Tradisi di Desa Bugbug, Perang dengan Pelepah Pisang.warga
desa tua Bugbug, Karangasem, punya tradisi ritual unik dalam mengucapkan
syukur atas keberhasilan panen mereka yang melimpah ruah. Usai ngebet dan
memasak hasil bumi seperti ketela dan palawija, mereka makan
bersama. Usai makan laki-laki dewasa berpasangan saling serang,
saling pukul dengan menggunakan pelepah pisang.Perang pelepah pisang ini
tampaknya tradisi yang maknanya hampir sama meski caranya berbeda dengan di
desa tua lain di Karangasem. Di desa pakraman Tenganan Pagringsingan atau
Tenganan Dauh Tukad ada tradisi mekare-kare (perang pandan), ter-teran (perang
api di Jasri) atau gebug ende di Seraya.
Perang pelepah pisang diikuti lelaki tua atau muda, dilakukan dua orang berpasangan yang umur dan perawakannya seimbang. Suarsa mengatakan permainan mereka juga fair, lima kali memukul akan dibalas dengan lima kali juga. Satu lawan satu, perwakilan dari 11 banjar adat di desa Bugbug. Petarung tanpa berpakaian atas. Mereka cuma maseet ginting, saput poleng dan kamen (sarung). Permainan dipimpin seorang saya atau juru kembar, yang merupakan prajuru desa. Pertarungan usai jika pelepah pisang di tangan sudah hancur atau salah satu ada yang menyerah kewalahan dengan tanda senjata pelepah pisanyanya lepas atau dilemparkan ke tanah. Jika ada badan petarung terluka atau memar, cukup diperciki tirta. Obat penyembuh dimohonkan dari Ida Bathara yang berstana di Pura Desa setempat. Ritual Aci Tatebahan (pukul) itu dimulai dengan memasak hasil bumi yang dibawa krama desa sebagai papeson (punia). Bahan makanan yang dimasak berupa hasil bumi seperti ketela pohon, ketela rambut atau umbi-umbian, buah-buahan (pala gantung lan pala bungkah, serta pala wija).
Tak boleh menggunakan nasi beras atau lauk dari ikan atau daging. Nasi beras, digunakan atau diganti dengan masakan (nasi) dari umbi-umbian, seperti ketela pohon atau ketela rambat.
Masakan itu pun disantap bersama (magibung). Maknanya sebagai ucapan syukur atas karunia Tuhan dengan hasil panen melimpah. Desa Bugbug dikelilingi bukit. Di bukit itulah, umumnya hasil bumi itu ditanam penduduk dan tumbuh subur.
Perang pelepah pisang diikuti lelaki tua atau muda, dilakukan dua orang berpasangan yang umur dan perawakannya seimbang. Suarsa mengatakan permainan mereka juga fair, lima kali memukul akan dibalas dengan lima kali juga. Satu lawan satu, perwakilan dari 11 banjar adat di desa Bugbug. Petarung tanpa berpakaian atas. Mereka cuma maseet ginting, saput poleng dan kamen (sarung). Permainan dipimpin seorang saya atau juru kembar, yang merupakan prajuru desa. Pertarungan usai jika pelepah pisang di tangan sudah hancur atau salah satu ada yang menyerah kewalahan dengan tanda senjata pelepah pisanyanya lepas atau dilemparkan ke tanah. Jika ada badan petarung terluka atau memar, cukup diperciki tirta. Obat penyembuh dimohonkan dari Ida Bathara yang berstana di Pura Desa setempat. Ritual Aci Tatebahan (pukul) itu dimulai dengan memasak hasil bumi yang dibawa krama desa sebagai papeson (punia). Bahan makanan yang dimasak berupa hasil bumi seperti ketela pohon, ketela rambut atau umbi-umbian, buah-buahan (pala gantung lan pala bungkah, serta pala wija).
Tak boleh menggunakan nasi beras atau lauk dari ikan atau daging. Nasi beras, digunakan atau diganti dengan masakan (nasi) dari umbi-umbian, seperti ketela pohon atau ketela rambat.
Masakan itu pun disantap bersama (magibung). Maknanya sebagai ucapan syukur atas karunia Tuhan dengan hasil panen melimpah. Desa Bugbug dikelilingi bukit. Di bukit itulah, umumnya hasil bumi itu ditanam penduduk dan tumbuh subur.
Di Desa Pakraman Jasri ada yang
disebut ter-teran, yakni saling lempar obor. Ter-teran digelar saat
pangrupukan, sebagai wali saat ngalebar caru, sehari menjelang hari
raya Nyepi. Selain itu Ter-teran terdapat juga di Saren. Saren adalah sebuah
desa kecil yang terletak di Kabupaten Karangasem,Bali. Setiap dua tahun ketika
usaba Pura Dalem (piodalan yang datangya setiap enam bulan sekali)
dilangsungkan upacara unik disini yakni Terteran,acara perang api dengan memakai
media serabut kelapa,masyarakat disini biasa menyebutnya dengan sambuk.
Tepat jam 6 sore acara dimulai diawali dengan anak-anak kemudian giliran
lelaki dewasa melanjutkanya,tentunya lebih seru apa lagi lampu jalan dimatikan
juga,maka berusahalah dengan kerja keras saya mengabadikan moment demi moment
lempar-lemparan sambuk yang menjadi bara api itu.Terteran ini awalnya
dilangsungkan setiap setahun sekali namun seiring perjalanan maka Terteran
dilakukan dalam dua tahun sekali kata Bapak Wirawan (masyarakat setempat) dan
selalu dipusatkan di sebuah Pura bernama Pura Sega. Terteran sendiri berarti
lempar – lemparan, dimana terteran dilangsungkan selama tiga hari berturut –
turut hingga menjelang hari H usaba di Pura Dalem desa setempat. Tujuan dari
terteran ini adalah untuk mengusir mala (tolak bala).Dan bila ada masyarakat
yang mengalami luka baik itu serius maupun ringan mereka cukup membawa bunga
pucuk merah kepura untuk mengobati luka tersebut. Usai perang api selama tiga
hari berturut-turut sedikitpun tidak ada dendam dalam hati mereka,ini adalah
bagian dari yadnya yang suka cita akan selalu mereka lakukan demi bertahanya
sebuah adat dan ritual yang unik.
Refrensi :
Amy Wirabudi. "Terpikat Dobel Ikat: Tenun
Gringsing", (EVE MAGAZINE Indonesia), 1 April 2010, hlm. 89.
Desa
Tenganan, Desa adat & asli Bali dahulu kala., Barry Kusuma.
LOKASI
WISATA: TENGANAN PEGERINGSINGAN,
www.karangasemtourism.com.
http://dedotblog.wordpress.com/2010/05/07/terteran-di-desa-saren/
http://iwbdenpasar.wordpress.com/2009/05/07/tatebahan/
Perang
Pisang di Tenganan Dauh Tukad,
Bali Post. Senin 2 Mei 2010.
0 komentar:
Posting Komentar