Minggu, 13 Januari 2013

Bali , itu sebutan satu kawasan timur Indonesia yang terkenl dengan segi pariwisata selain budayanya. Di Bali khususnya di Kabupaten Karangasem terdapat beberapa desa yang terkenal dengan keunikan budayanya.salah satunya Tenganan, Tenganan adalah sebuah desa tradisional di pulau Bali. Desa ini terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem di sebelah timur pulau Bali. Tenganan bisa dicapai dari tempat pariwisata Candi Dasa dan letak kira-kira 10 kilometer dari sana. Desa Tenganan merupakan salah satu desa dari tiga desa Bali Aga, selain Trunyan dan Sembiran. Yang dimaksud dengan Bali Aga adalah desa yang masih mempertahankan pola hidup yang tata masyarakatnya mengacu pada aturan tradisional adat desa yang diwariskan nenek moyang mereka. Bentuk dan besar bangunan serta pekarangan, pengaturan letak bangunan, hingga letak pura dibuat dengan mengikuti aturan adat yang secara turun-temurun dipertahankan.Keseharian kehidupan di desa ini masih diatur oleh hukum adat yang disebut awig-awig. Hukum tersebut ditulis pada abad ke-11 dan diperbaharui pada tahun 1842. Rumah adat Tenganan dibangun dari campuran batu merah, batu sungai, dan tanah. Sementara atapnya terbuat dari tumpukan daun rumbi. Rumah adat yang ada memiliki bentuk dan ukuran yang relatif sama, dengan ciri khas berupa pintu masuk yang lebarnya hanya berukuran satu orang dewasa. Ciri lain adalah bagian atas pintu terlihat menyatu dengan atap rumah.
Penduduk desa ini memiliki tradisi unik dalam merekrut calon pemimpin desa, salah satunya melalui prosesi adat mesabat-sabatan biu (perang buah pisang). Calon prajuru desa dididik menurut adat setempat sejak kecil atau secara bertahap dan tradisi adat tersebut merupakan semacam tes psikologis bagi calon pemimpin desa. Pada tanggal yang telah ditentukan menurut sistem penanggalan setempat (sekitar Juli) akan digelar ngusaba sambah dengan tradisi unik berupa mageret pandan (perang pandan). Dalam acara tersebut, dua pasang pemuda desa akan bertarung di atas panggung dengan saling sayat menggunakan duri-duri pandan. Walaupun akan menimbulkan luka, mereka memiliki obat antiseptik dari bahan umbi-umbian yang akan diolesi pada semua luka hingga mengering dan sembuh dalam beberapa hari. Tradisi tersebut untuk melanjutkan latihan perang rutin dan menciptakan warga dengan kondisi fisik serta mental yang kuat. Selain itu masyarakat tenganan juga mempunyai kerajinan unik yang disebut Kain gringsing, adalah satu-satunya kain tenun tradisional Indonesia yang dibuat menggunakan teknik teknik dobel ikat dan memerlukan waktu 2-5 tahun. Kain ini berasal dari Desa Tenganan, Bali. Umumnya, masyarakat Tenganan memiliki kain gringsing berusia ratusan tahun yang digunakan dalam upacara khusus. Kata gringsing berasal dari gring yang berarti 'sakit' dan sing yang berarti 'tidak', sehingga bila digabungkan menjadi 'tidak sakit'. Maksud yang terkandung di dalam kata tersebut adalah seperti penolak bala. Di Bali, berbagai upacara, seperti upacara potong gigi, pernikahan, dan upacara keagamaan lain, dilakukan dengan bersandar pada kekuatan kain gringsing.
Penduduk Tenganan telah dikenal sebagai penganut Hindu aliran Dewa Indra, yang dipercaya sebagai dewa perang. Masyarakat Tenganan mengajarkan dan memegang teguh konsep Tri Hita Karana (konsep dalam ajaran Hindu) dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tri berarti tiga dan Hita Karana berarti penyebab kebahagiaan untuk mencapai keseimbangan dan keharmonisan. Tri Hita Karana terdiri dari Perahyangan (hubungan yang seimbang antara manusia dengan Tuhan), Pawongan (hubungan harmonis antara manusia dengan manusia lainnya), dan Palemahan (hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya).
Selain Desa Tenganan, terdapat juga desa unik lain. Adalah Desa Seraya yang terkenal dengan masih berlaku nuansa tradisonal yang sangat kental. Salah satu keunikan Desa Seraya yaitu tarian ekstrimnya yang terkenal. Tarian tersebut di kenal dengan Gebug Ende atau Gebug Seraya. Gebug berarti memukul dengan sekuat tenaga dengan tongkat rotan (penyalin) sepanjang 1,5 – 2 meter dan Ende berarti tameng yang digunakan untuk menangkis pukulan. Gebug Ende ini ada unsur seni, seperti seni tari yang dipadukan dengan ketangkasan para penarinya memainkan tongkat dan tameng, dimana saat atraksi ini dilakukan, diiringi dengan iringan musik gamelan, yang memacu semangat para penari untuk saling memukul, menhindar dan menangkis. Saat Gebug Ende berlangsung bukan hanya untuk memperlihatkan ketangkasan saja, tapi ada nilai-nilai sakralnya yang dikeramatkan penduduk setempat, tarian Gebug merupakan kesenian klasik yang digelar setiap musim kemarau dengan tujuan untuk mengundang turunnya hujan, ritual ini yang diyakini dapat menurunkan hujan, dimainkan oleh dua orang lelaki baik dewasa maupun anak-anak yang sama-sama membawa ende dan penyalin. Sebelum Gebug Ende berlangsung terlebih dahulu diadakan ritual dengan banten atau sesaji, agar permohoanan terkabul. Setelah siap dua pemain yang dilakukan oleh anak-anak maupun lelaki dewasa, dengan pakaian adat Bali tanpa memakai baju, akan saling serang yang dipimpin oleh wasit (saye), antara dua penari di tengah-tengah di batasi oleh tongkat rotan. Sebelumnya wasit memberi petunjuk dan ketentuan daerah mana saja yang bisa diserang.
            Tradisi Gebug Ende merupakan warisan budaya leluhur yang memang diyakini dapat menurunkan hujan. Menurut kepercayaan setempat, hujan akan turun apabila pertandingan mampu memercikan darah. Semakin banyak maka akan semakin cepat hujan akan turun. Tidak ada waktu tertentu dalam permainan tersebut. Yang jelas permainan akan berakhir bila salah satu permainan telah terdesak. Tidak ada kata dendam setelah itu. Tradisi ini memang sudah cukup terkenal, kalau anda mau wisata di Bali dan ingin menyaksikannya anda coba berkunjung ke daerah karangasem, belahan Timur pulau Bali.
Tradisi di Desa Bugbug, Perang dengan Pelepah Pisang.warga desa tua Bugbug,  Karangasem, punya tradisi ritual unik dalam mengucapkan syukur atas keberhasilan panen mereka yang melimpah ruah.  Usai ngebet dan memasak hasil bumi seperti ketela dan palawija,  mereka makan bersama.  Usai makan laki-laki dewasa berpasangan saling serang,  saling pukul dengan menggunakan pelepah pisang.Perang pelepah pisang ini tampaknya tradisi yang maknanya hampir sama meski caranya berbeda dengan di desa tua lain di Karangasem.  Di desa pakraman Tenganan Pagringsingan atau Tenganan Dauh Tukad ada tradisi mekare-kare (perang pandan), ter-teran (perang api di Jasri) atau gebug ende di Seraya.
Perang pelepah pisang diikuti lelaki tua atau muda, dilakukan dua orang berpasangan yang umur dan perawakannya seimbang.  Suarsa mengatakan permainan mereka juga fair, lima kali memukul akan dibalas dengan lima kali juga.  Satu lawan satu, perwakilan dari 11 banjar adat di desa Bugbug.  Petarung tanpa berpakaian atas.  Mereka cuma maseet ginting, saput poleng dan kamen (sarung).  Permainan dipimpin seorang saya atau juru kembar, yang merupakan prajuru desa.  Pertarungan usai jika pelepah pisang di tangan sudah hancur atau salah satu ada yang menyerah kewalahan dengan tanda senjata pelepah pisanyanya lepas atau dilemparkan ke tanah. Jika ada badan petarung terluka atau memar, cukup diperciki tirta.  Obat penyembuh dimohonkan dari Ida Bathara yang berstana di Pura Desa setempat. Ritual Aci Tatebahan (pukul) itu dimulai dengan memasak hasil bumi yang dibawa krama desa sebagai papeson (punia).  Bahan makanan yang dimasak berupa hasil bumi seperti ketela pohon, ketela rambut atau umbi-umbian, buah-buahan (pala gantung lan pala bungkah, serta pala wija).
Tak boleh menggunakan nasi beras atau lauk dari ikan atau daging.  Nasi beras, digunakan atau diganti dengan masakan (nasi) dari umbi-umbian, seperti ketela pohon atau ketela rambat.
Masakan itu pun disantap bersama (magibung).  Maknanya sebagai ucapan syukur atas karunia Tuhan dengan hasil panen melimpah.  Desa Bugbug dikelilingi bukit. Di bukit itulah, umumnya hasil bumi itu ditanam penduduk dan tumbuh subur.
Di Desa Pakraman Jasri ada yang disebut ter-teran, yakni saling lempar obor. Ter-teran digelar saat pangrupukan, sebagai wali saat ngalebar caru, sehari menjelang hari raya Nyepi. Selain itu Ter-teran terdapat juga di Saren. Saren adalah sebuah desa kecil yang terletak di Kabupaten Karangasem,Bali. Setiap dua tahun ketika usaba Pura Dalem (piodalan yang datangya setiap enam bulan sekali) dilangsungkan upacara unik disini yakni Terteran,acara perang api dengan memakai media serabut kelapa,masyarakat disini biasa menyebutnya dengan  sambuk. Tepat jam 6 sore acara dimulai diawali dengan anak-anak  kemudian giliran lelaki dewasa melanjutkanya,tentunya lebih seru apa lagi lampu jalan dimatikan juga,maka berusahalah dengan kerja keras saya mengabadikan moment demi moment lempar-lemparan sambuk yang menjadi bara api itu.Terteran ini awalnya dilangsungkan setiap setahun sekali namun seiring perjalanan maka Terteran dilakukan dalam dua tahun sekali kata Bapak Wirawan (masyarakat setempat) dan selalu dipusatkan di sebuah Pura bernama Pura Sega. Terteran sendiri berarti lempar – lemparan, dimana terteran dilangsungkan selama tiga hari berturut – turut hingga menjelang hari H usaba di Pura Dalem desa setempat. Tujuan dari terteran ini adalah untuk mengusir mala (tolak bala).Dan bila ada masyarakat yang mengalami luka baik itu serius maupun ringan mereka cukup membawa bunga pucuk merah kepura untuk mengobati luka tersebut. Usai perang api selama tiga hari berturut-turut sedikitpun tidak ada dendam dalam hati mereka,ini adalah bagian dari yadnya yang suka cita akan selalu mereka lakukan demi bertahanya sebuah adat dan ritual yang unik.

Refrensi :
Amy Wirabudi. "Terpikat Dobel Ikat: Tenun Gringsing", (EVE MAGAZINE Indonesia), 1 April 2010, hlm. 89.
Desa Tenganan, Desa adat & asli Bali dahulu kala., Barry Kusuma.
LOKASI WISATA: TENGANAN PEGERINGSINGAN, www.karangasemtourism.com.
http://dedotblog.wordpress.com/2010/05/07/terteran-di-desa-saren/
http://iwbdenpasar.wordpress.com/2009/05/07/tatebahan/
Perang Pisang di Tenganan Dauh Tukad, Bali Post. Senin 2 Mei 2010.

Tagged: ,

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts