BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pembangunan dan perkembangan
perekonomian dalam bidang pariwisata nasional telah menghasilkan berbagai
variasi pemakai jasa biro perjalanan yang dapat berperan dan menikmati hasilnya
secara adil sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan darma baktinya yang diberikan
kepada bangsa dan negara.
Kegiatan bidang kepariwisataan
yang dilakukan oleh biro jasa perjalanan telah memberi dampak positif bagi
perekonomian bangsa melalui kegiatan promosi dan penyediaan jasa perencanaan
perjalanan yang dapat menambah pendapatan negara melalui pembayaran pajak atas
produk yang dijual serta dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat.
Dalam pelaksanaan kegiatan
kepariwisataan, pemerintah melakukan pembinaan dengan cara pengaturan,
pemberian bimbingan, pengawasan dan pengendalian terhadap pelaku usaha biro
perjalanan maupun masyarakat sebagai konsumen. Dalam hal pengaturan, pemerintah
telah menetapkan peraturan dan mengendalikan perizinan bagi pelaku usaha biro
jasa perjalanan dan menerapkan hukum yang berlaku di bidang kepariwisataan
secara konsisten.
Dalam usaha untuk
menyeimbangkan kedudukan antara pelaku usaha dengan konsumen dan pengguna jasa,
pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (selanjutnya disingkat UUPK 1999).
UUPK 1999 ini bertujuan untuk
meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta meningkatkan kesadaran,
pengetahuan, kepedulian, kemampuandan kemandirian konsumen untuk melindungi
dirinya sertamenumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.
Oleh karena itu,
berdasarkan uraian
singkat di ataskami membuat
sebuah paper dengan judul “HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM KAITANNYA DENGAN
JASA BIRO PERJALANAN”.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1.
Bagaimanakah
bentuk perlindungan hukum bagi konsumen pengguna jasa biro perjalanan menurut
UUPK 1999?
1.2.2.
Bagaimanakah sanksi bagi pelaku
usaha yang merugikan konsumen bagi pengguna jasa biro perjalanan?
1.2.3.
Bagaimanakah peran pemerintah
dalam kaitannya dengan hukum perlindungan konsumen, khususnya pada jasa biro
perjalanan?
1.3.
Tujuan Penulisan
1.3.1. Untuk mengetahui bentuk perlindungan
hukum bagi konsumen pengguna jasa biro perjalanan menurut UUPK 1999
1.3.2. Untuk mengetahui sanksi bagi pelaku
usaha yang merugikan konsumen bagi pengguna jasa biro perjalanan
1.3.3. Untuk mengetahui peran pemerintah
dalam kaitannya dengan hukum
perlindungan konsumen, khususnya pada jasa biro perjalanan.
1.4.
Metode Penulisan
Metode yang kami gunakan dalam
membuat paper ini ialah menggunakan metode
literatur kajian pustaka, dimana kami mencari sumber-sumber melalui buku-buku
yang berhubungan dengan tema paper yang kami buat dan juga bersumber dari
beberapa artikel lain yang berasal dari internet.
BAB
II
TINJAUAN
TEORITIS
2.1. Konsumen
2.1.1.
Pengertian Konsumen
Istilah konsumen berasal dari
alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument
(Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi
mana ia berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen)
setiap orang yang menggunakan barang.[1]Sedangkan konsumen menurut naskah
final Rancangan Akademik Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yang
disusun oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia, konsumen adalah setiap orang
atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk
diperdagangkan.[2]
Sebagai akhir dari usaha pembentukan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, adalah dengan lahirnya UUPK, yang di
dalamnya dikemukakan pengertian konsumen.
Pengertian konsumen menurut beberapa
sumber, yaitu :
1. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai,
pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.
2. Konsumen
antara,
yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk
diproduksi (produsen) menjadi barang /jasa lain atau untuk memperdagangkannya
(distributor), dengan tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku
usaha; dan
3. Konsumen
akhir,
yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk
memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk
diperdagangkan kembali.
b. Philip Kotler
Dalam bukunya Prinsiples Of Marketing tahun 2000 adalah semua
individu dan rumah tangga yang membeli atau memperoleh barang atau jasa untuk
dikonsumsi pribadi.
c. Ambridge International
Dictionaries
Konsumen adalah seseorang yang membeli suatu barang atau jasa
d. Webster's 1928 Dictionary
Konsumen adalah seseorang yang beberapa kali datang ke tempat yang
sama untuk membeli suatu barang atau peralatan.
2.1.2. Pengertian
Perlindungan Konsumen
Perlindungan Konsumen adalah segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen atau perangkat hukum yang
diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen.Sebagai contoh, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda harga
sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen.Purba dalam bukunya Abdul
Halim Barkatullah berpendapat mengenaiperlindungan konsumen sebagai berikut:
"Perlindungan hukum bagi konsumen sebagai satu konsep terpadu dan
merupakan hal baru, yang perkembangannya dimulai dari negara-negara maju. Namun
demikian, saat sekarang konsep ini sudah tersebar ke bagian dunia lain.“(Barkatullah,
2010 : 3)
2.1.3. Ciri – Ciri
Perilaku Konsumen
Perilaku
Konsumen adalah proses dan aktivitas ketika seseorang berhubungan dengan
pencarian, pemilihan, pembelian, penggunaan, serta pengevaluasian produk dan
jasa demi memenuhi kebutuhan dan keinginan. Perilaku konsumen merupakan hal-hal
yang mendasari konsumen untuk membuat keputusan pembelian. Untuk barang
berharga jual rendah (low-involvement) proses pengambilan keputusan dilakukan
dengan mudah, sedangkan untuk barang berharga jual tinggi (high-involvement)
proses pengambilan keputusan dilakukan dengan pertimbangan yang matang.Perilaku
Konsumen secara umum dibagi menjadi 2 yaitu Perilaku Konsumen yang bersifat
Rasional dan Irrasional.Berikut ini beberapa ciri-ciri dari Perilaku Konsumen
yang bersifat Rasional:
1.
Konsumen memilih barang berdasarkan kebutuhan;
2. Barang yang dipilih konsumen memberikan kegunaan
optimal bagi konsumen;
3. Konsumen memilih barang yang mutunya terjamin;
4. Konsumen memilih barang yang harganya sesuai dengan
kemampuan konsumen
5. Beberapa ciri-ciri Perilaku Konsumen yang bersifat
Irrasional:
6.
Konsumen sangat cepat tertarik dengan iklan dan promosi di media cetak
maupun elektronik;
7.
Konsumen memiliki barang-barang bermerk atau branded yang sudah dikenal
luas;
8.
Konsumen memilih barang bukan berdasarkan kebutuhan, melainkan gengsi
atau
9. Prestise.
2.1.4 Faktor-faktor
yang paling mempengaruhi perilaku konsumenIndonesia
Dalam buku Marketing Management: Twelfth
Edition oleh Philip Kolter dan Kevin Lane Keller pada tahun 2006, perilaku
pembelian konsumen sebenarnya di pengaruhi oleh faktor-faktor budaya, sosial,
pribadi, dan psikologis. Sedangkan faktor yang paling berpengaruh dan paling
luas dan paling dalam adalah faktor budaya.
a.
Faktor budaya
Budaya, sub-budaya, dan
kelas sosial sangat penting bagi perilaku pembelian.Budaya merupakan penentu
keinginan dan perilaku pembentuk paling dasar.Anak-anak
yang sedang tumbuh mendapatkan seperangkat nilai, persepsi, preferensi, dan
perilaku dari keluarga dan
lembaga-lembaga penting lainnya.Masing-masing budaya terdiri dari sejumlah
sub-budaya yang lebih menampakkan identifikasi dan sosialisasi khusus bagi para
anggotanya.Sub-budaya mencakup kebangsaan, suku, agama, ras, kelompok bagi para
anggotanya. Ketika sub-budaya menjadi besar dan cukup makmur, perusahaan akan
sering merancang program pemasaran yang cermat disana.
b.
Faktor Sosial
Selain faktor
budaya, perilaku konsumen di pengaruhi oleh faktor-faktor sosial, seperti
kelompok acuan, keluarga, peran, dan status sosial.Kelompok acuan terdiri dari
semua kelompok yang memiliki pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap
sikap atau perilaku orang tersebut.Keluarga meruapkan organisasi pembelian
konsumen yang paling penting dalam masyarakat dan para anggota keluarga menjadi
kelompok acuan primer yang paling berpengaruh. Peran dan status sosial
seseorang menunjukkan kedudukan orang itu setiap kelompok sosial yang ia
tempati. Peran meliputi kegiatan yang diharapkan akan dilakukan oleh seseorang.
Masing-masing peran menghasilkan status.
Contoh, seorang
yang memiliki peran sebagai manajer dan status yang lebih tinggi dari pegawai
kantor, dimana ia juga memiliki banyak keluarga dan anak, tentu ia akan
tertarik dengan produk mobil dari Toyota, karena ada kesesuaian antara
kebutuhan dan keunggulan Toyota sebagai mobil
keluarga ideal terbaik Indonesia,
ia bahkan juga bisa membeli pakaian mahal dan juga keluarganya, membeli rumah
besar untuk keluarganya dan lain-lain.
c.
Faktor Pribadi
Keputusan
membeli juga di pengaruhi oleh karakteristik pribadi. Karakteristik tersebut
meliputi usia dan tahap dalam siklus hidup, pekerjaan, keadaan ekonomi,
dan kepribadian.
2.1.5.
Hak dan Kewajiban Konsumen
a.
Hak Konsumen
Pada
era globalisasi dan perdagangan bebas dewasa ini, sebagai dampak kemajuan
teknologi dan informasi, memberdayakan konsumen semakin penting.Untuk
pemberdayaan itu di Negara kita telah dibuat Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam hal ini ada dua pasal yang perlu diperhatikan, yaitu
yang mengatur hak-hak konsumen, disamping kewajiban yang harus
dilakukan.Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan
kewajiban.Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa
bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai
adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari
akan hal itu.
Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk
memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja
ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.Berdasarkan
UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :
Hak Konsumen (Pasal 4)
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan
keselamatan dalam mengonsumsi barang, atau jasa.
2. Hak untuk memilih barang dan jasa
serta mendapatkan barang dan jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar kondisi serta jaminan yang
dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar,
jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jamina barang atau jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya atas barang atau jasa yang digunakan.
5. Hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan, dan upaya penyelasain sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
6. Hak untuk pembinaan dan pendidikan
konsumen.
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi,
ganti rugi atau penggantian, apabila barang atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak
konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku
usaha.Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban
pelaku usaha merupakan hak konsumen.selain hak-hak yang disebutkan tersebut ada
juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini
dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh
pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan
terminologi ” persaingan curang”.
Di Indonesia persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5
tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,
juga dalam pasal 382 bis KUHP. Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen
dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya hak-hak konsumenyang
merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen, termasuk didalamnya juga diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan
apabila hak konsumen, misalnya siapa yang melindungi konsumen (bab VII),
bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya (bab IX, X, dan XI).
b.
Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen (Pasal 5)
1. Membaca atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakain atau pemanfaatan barang atau jasa demi keamanan
dan keselamatan
2. Beritikad baik dalam melakukan
transaksi pembelian barang atau jasa.
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar
yang disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hokum
sengketa perlindungan konsumen.
Dengan
terbitnya undang-undang tersebut maka diharapkan kepada para pelaku bisnis
untuk melakukan peningkatan dan pelayanan sehingga konsumen tidak merasa
dirugikan.Yang penting dalam hal ini adalah bagaimana sikap produsen agar
memberikan hak-hak konsumen yang seyogianya pantas diperoleh. Di samping agar
juga konsumen juga menyadari apa yang menjadi kewajibannya. Di sini dimaksudkan
agar kedua belah pihak saling memperhatikan hak dan kewajibannya masing-masing.
Apa
yang menjadi hak konsumen merupakan kewajiban bagi produsen. Sebaliknya apa
yang menjadi kewajiban konsumen merupakan hak bagi produsen. Dengan saling
menghormati apa yang menjadi hak maupun kewajiban masing-masing, maka akan
terjadilah keseimbangan. Dengan prinsip keseimbangan akan menyadarkan kepada
setiap pelaku bisnis agar segala aktivitasnya tidak hanya mementingkan dirinya
sendiri, namun juga harus memperhatikan kepentingan orang lain.
2.1.6. Dasar-dasar Hukum
Perlindungan Konsumen
Hukum
perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan
terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme.Hukum
Perlindungan Konsumen merupakan cabang dari Hukum Ekonomi.Alasannya,
permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan
kebutuhan barang / jasa.Pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perlindungan
konsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan.
RUU ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20 april 1999.
1. Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5
ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
2. Undang Undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999
No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821.
3. Undang Undang No. 5 tahun 1999
Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
4. Undang Undang No. 30 Tahun 1999
Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa.
5. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun
2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
6. Surat Edaran Dirjen Perdagangan
Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang
ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota.
7. Surat Edaran Direktur Jenderal
Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan
Pengaduan Konsumen.
Dengan
diundang-undangkannya masalah perlindungan konsumen, dimungkinkan dilakukannya
pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha.Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa mengadukan dan memproses
perkaranya secara hukum di badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK).
Dasar
hukum tersebut bisa menjadi landasan hukum yang sah dalam soal pengaturan
perlindungan konsumen. Di samping UU Perlindungan Konsumen, masih terdapat
sejumlah perangkat hukum lain yang juga bisa dijadikan sebagai sumber atau
dasar hukum sebagai berikut :
1. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli2001 tentang Badan Perlindungan
Konsumen Nasional.
2. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindung Konsumen.
3. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat.
4. Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota
Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta
Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.
5. Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
2.1.7. Asas dan Tujuan Perlindungan
Konsumen
a.
Asas Perlindungan Konsumen
Berdasarkan
UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan konsumen.
1. Asas manfaat
Maksud
asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi
kepentingankonsumen dan pelau usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan
Asas
ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal
dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh
haknyadan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan
Asas
ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen,
pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun spiritual. d. Asas
keamanan dan keselamatan konsumen.
4. Asas keamanan dan keselamatan
konsumen
Asas
ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum
Asas
ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara
menjamin kepastian hukum.
b.
Tujuan Perlindungan Konsumen
Dalam
UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen
adalah sebagai berikut.
1. Meningkatkan
kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
2. mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa.
3. Meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya
4. sebagai
konsumen.
5. Menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hokum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
6. Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
7. Meningkatkan
kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa,
kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
2.1.8.
Contoh Kasus Perlindungan Konsumen
a.
Kasus
Prita Mulyasari
Berbagai kasus tentang perlindungan
konsumen selalu menjadi perhatian, dalam kasus ini biasanya pemenangnya dari
pihak produsen.Contohnya kasus prita, prita dari sekian banyaknya korban yang
memperjuangkan haknya sebagai konsumen yang menuntut pertanggungjawabannya dari
penyedia jasa.Sebagai konsumen yang merasakan ketidakpuasan atas pelayanan
Rumah Sakit Omni Internasional.Seharusnya Prita wajar untuk mengajukan
keluhan.Prita “bukan tanpa hak” untuk menyampaikan keluhannya. Prita menyampaikan
keluh kesahnya pada jejaring sosial di internet, justru malah mendapatkan
tuntutan penghinaan dan atau pencemaran nama baik.
Muasalnya adalah tulisan Prita dalam
e-mail pribadi kepada rekan-rekannya yang berisi keluhan terhadap pelayanan RS
yang berlokasi di Serpong, Tangerang tersebut.Prita awalnya memeriksakan diri
pada 7 Agustus 2008 dengan keluhan panas tinggi dan sakit kepala.Ia ditangani
dr. Hengky dan dr. Indah, diagnosanya adalah Demam Berdarah (DB) dan disarankan
rawat-inap. Semasa rawat inap, Prita merasakan berbagai kejanggalan yang terus
diberikan.
b.
Kasus Penarikan Produk
Obat Anti-Nyamuk HIT
Pada
hari Rabu, 7 Juni 2006, obat anti-nyamuk HIT yang diproduksi oleh PT Megarsari
Makmur dinyatakan akan ditarik dari peredaran karena penggunaan zat aktif
Propoxur dan Diklorvos yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan terhadap
manusia, sementara yang di pabrik akan dimusnahkan. Sebelumnya Departemen
Pertanian, dalam hal ini Komisi Pestisida, telah melakukan inspeksi mendadak di
pabrik HIT dan menemukan penggunaan pestisida yang menganggu kesehatan manusia
seperti keracunan terhadap darah, gangguan syaraf, gangguan pernapasan,
gangguan terhadap sel pada tubuh, kanker hati dan kanker lambung.
HIT
yang promosinya sebagai obat anti-nyamuk ampuh dan murah ternyata sangat
berbahaya karena bukan hanya menggunakan Propoxur tetapi juga Diklorvos (zat
turunan Chlorine yang sejak puluhan tahun dilarang penggunaannya di dunia).
Obat anti-nyamuk HIT yang dinyatakan berbahaya yaitu jenis HIT 2,1 A (jenis
semprot) dan HIT 17 L (cair isi ulang). Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum
Kesehatan melaporkan PT Megarsari Makmur ke Kepolisian Metropolitan Jakarta
Raya pada tanggal 11 Juni 2006.Korbannya yaitu seorang pembantu rumah tangga
yang mengalami pusing, mual dan muntah akibat keracunan, setelah menghirup
udara yang baru saja disemprotkan obat anti-nyamuk HIT.
Masalah
lain kemudian muncul. Timbul miskomunikasi antara Departemen Pertanian
(Deptan), Departemen Kesehatan (Depkes), dan BPOM (Badan Pengawas Obat dan
Makanan). Menurut UU, registrasi harus dilakukan di Depkes karena hal tersebut
menjadi kewenangan Menteri Kesehatan. Namun menurut Keppres Pendirian BPOM,
registrasi ini menjadi tanggung jawab BPOM.
Namun
Kepala BPOM periode sebelumnya sempat mengungkapkan, semua obat nyamuk harus
terdaftar (teregistrasi) di Depkes dan tidak lagi diawasi oleh BPOM.Ternyata
pada kenyataanya, selama ini izin produksi obat anti-nyamuk dikeluarkan oleh
Deptan. Deptan akan memberikan izin atas rekomendasi Komisi Pestisida. Jadi
jelas terjadi tumpang tindih tugas dan kewenangan di antara instansi-instansi
tersebut.
2.2. Pengertian Produsen
Istilah produsen berasal dari bahasa Belanda yakni producent, dalam
bahasa inggris, producer yang artinya adalah penghasil.Pengertian yang luas
mengenai produsen terdapat dalam UUPK, namun istilah produsen sebagai lawan
dari isrilah konsumen, melainkan pelaku usaha. Pengertian pelaku usaha dalam
UUPK adalah sebagai berikut : [4]“Pelaku
Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk bdan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha
dalam berbagai bidang ekonomi.”
2.3. Perkembangan Pelaku Usaha Jasa Biro Perjalanan
Dalam pelaksanaan usaha jasa perjalanan terjalin suatu
hubungan hukum yang di dalamnya terdapat beberapa pihak, antara lain sebagai
berikut:
1. Biro jasa perjalanan (Travel Agent).
Yaitu badan usaha
atau badan hukum yang disebut sebagai distributor atau penjual produk, yaitu
menjual tiket pesawat udara dari maskapai penerbangan atau menjual produk dari
pihak hotel. Biro jasa perjalanan juga bertindak sebagai produsen ketika
membuat suatu paket wisata yang telah tersusun dengan berbagai rincian tempat
wisata beserta akomodasinya dan pemilihan transportasi yang digunakan.
2. Penumpang (Passanger),
Tamu (Guest), Peserta Tour (Client), Pelanggan (Customer).
Yaitu pihak yang disebut sebagai konsumen karena telah memakai atau mengunakan jasa atau produk yang telah diberikan atau disediakan oleh biro jasa perjalanan.
3. Maskapai penerbangan (airlines), PELNI,
Hotel, Restoran dan Pemilik tempat wisata (supply tourism product).
Yaitu pihak yang
disebut sebagai produsen yang sebenarnya karena disini merekalah yang membuat
produk untuk dipasarkan kepada konsumen, pihak produsen ini memerlukan bantuan
biro jasa perjalanan dengan menjalin kerja sama untuk dapat memasarkan produk
mereka kepada konsumen. Dalam hal ini, pihak konsumen mau tidak mau harus
mengikuti peraturan perjanjian yang berlaku antara pihak biro jasa perjalanan
dan pihak produsen yang sebenarnya tersebut.
Persaingan bisnis
antar biro perjalanan wisata semakin ketat. Mereka bersaing untuk dapat menarik
konsumen sebanyak-banyaknya. Tugas dari biro perjalanan wisata adalah menjual
jasa. Oleh karena itu para biro perjalanan wisata saling berlomba-lomba untuk
menjual berbagai produk wisata yang dimilikinya antara lain hotel voucher, tiket pesawat, tiket
kapal laut dan ferry, paket wisata, rental bus atau mobil dan pengurusan
dokumen perjalanan. Dalam pelaksanaannya, berbagai produk ini dapat diperinci
sebagai berikut:
1. Pemesanan tiket pesawat terbang, kapal laut, ferry
dimana produk jasa tersebut dapat berupa tiket perjalanan dalam negeri (domestic) maupun perjalanan luar negeri
(internasional);
2. Pemesanan hotel
voucher yang terdiri dari hotel domestic dan internasional, harga yang
diberikan kepada konsumen adalah harga di bawah harga jual hotel langsung
kepada tamu (publish rate), hal ini
dikarenakan pihak biro jasa telah memilki kontrak harga jual produk hotel (contract rate) untuk dijual kepada
konsumen;
3. Paket wisata domestik dan internasional baik
berupa paket wisata pesanan konsumen (outbound
tour) maupun paket yang telah disediakan oleh biro jasa (inbound tour);
4. Pengurusan dokumen perjalan seperti visa, paspor,
fiscal, airport tax dan lain-lain;
5. Penyediaan penyewaan bus kapasitas 20, 40 dan 50
penumpang serta penyewaan mobil pribadi.
Dari berbagai
produk yang dijual oleh biro perjalanan, yang menjadi tulang punggung biro perjalanan adalah
penjualan tiket, karena tiket adalah yang paling dibutuhkan oleh konsumen
sehari-hari berbeda dengan tiket perjalanan wisata yang bersifat musiman (seasonal) karena konsumen hanya
membutuhkannya pada waktu musim liburan.
Berdasarkan
terminologi, biro perjalanan tidak mengenal kata konsumen, kata konsumen di
biro perjalanan adalah client, costumer, penumpang (passenger), hotel guest dan peserta tour, dengan terminologi tersebut maka biro
perjalanan wisata (travel agent)
berkewajiban untuk membela dan melindungi client
yang telah melakukan transaksi di biro perjalanan. Dengan kejadian Adam Air
maka pihak. Jasa biro perjalanan perlu memperhatikan dan melindungi kepentingan
clientnya yang dirugikan akibat suatu
kegiatan yang berhubungan dengan produk yang didistribusikan oleh biro perjalanan tersebut. Kerugian yang
dialami oleh client terjadi akibat
kelalaian dari pihak maskapai penerbangan yang menyebabkan kegagalan
keberangkatan pihak client atau kelalaian oleh pihak supply tourism product,
sehingga liburan yang direncanakan tidak terlaksana dengan sabagaimana
mestinya.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pengguna Jasa Biro Perjalanan
Dalam kenyataan
sering terlihat adanya ketidakseimbangan kedudukan antara produsen dan
konsumen. Ketidakseimbangan ini antara lain disebabkan karena banyaknya tawaran
yang menggiurkan konsumen dari produsen dalam suatu produk yang dipromosikan,
sehingga konsumen tidak sempat lagi memperhatikan mutu, masa daluarsa serta
efek negatif dari pemakaian barang (produk) tersebut.
Selain dari
berbagai hadiah dan tawaran yang menggiurkan konsumen tersebut maka pengetahuan
dasar yang rendah (education) dari
konsumen juga menjadi salah satu penyebab sehingga seringkali konsumen menjadi
pihak yang dirugikan.
Dalam rangka untuk
memperkuat pemberdayaan konsumen, UUPK 1999 telah mengatur tentang tanggung
jawab pelaku usaha terhadap produksi (product liability) barang atau jasa yang dikonsumsi
oleh konsumen dan pengguna jasa. Tanggung jawab tersebut perlu diperhatikan karena
mempersoalkan kepentingan konsumen harus disertai pula analisis mengenai siapa
yang semestinya dibebani tanggung jawab dan sampai batas mana pertangungjawaban
itu dibebankan padanya.
Seperti diketahui
berlaku prinsip hukum bahwa setiap orang yang melakukan suatu akibat kerugian
bagi orang lain, harus memikul tanggungjawab yang diperbuatnya. Setiap orang
yang mengalami kerugian, berhak mengajukan tuntutan kompensasi dan ganti rugi
pada pihak yang mengakibatkan terjadinya kerugian itu.
Selanjutnya dalam
upaya mempergunakan haknya dalam mengajukan tuntutan atas kerugian yang
dideritanya, konsumen dapat menempuh jalur hukum. Proses penyelesaian sengketa
konsumen diatur dalam Bab X Pasal 45 sampai Pasal 48 UUPK 1999. Berdasarkan
Pasal 45 ayat (2) UUPK 1999 penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu diselesaikan di luar Pengadilan (non litigasi) atau
diselesaikan melalui jalur Pengadilan (litigasi).
Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu:
1. Penyelesaian secara damai, yang meliputi
penyelesaian antara para pihak, penyelesaian melalui Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), penyelesaian melalui Direktorat
Perlindungan Konsumen.
2. Penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) yang meliputi Konsiliasi, Mediasi dan Arbitrase.
Penyelesaian
sengketa konsumen melalui pengadilan (litigasi)
dimungkinkan dengan 3 (tiga) instrumen hukum yaitu melalui hukum administrasi
negara, hukum perdata dan hukum pidana.
Penyelesaian sengketa
melalui sanksi administrasi dilakukan apabila terdapat “ketidakberesan” pada
kinerja 2 (dua) badan yang didirikan oleh pemerintah yang bertugas untuk
melindungi konsumen yaitu, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Apabila terdapat penyalahgunaan
tugas dan wewenang dari kedua badan tersebut, maka konsumen yang merasa telah
dirugikan dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Tata Usaha Negara.
Penyelesaian
sengketa konsumen terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha melalui
gugatan perdata dapat diajukan kepada peradilan umum yang menangani perkara
pidana dan perdata yang meliputi Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung.
3.2.Sanksi Bagi Pelaku Usaha yang Merugikan Konsumen Bagi Pengguna
Jasa Biro Perjalanan
Dalam pasal 62 Undang-undang No. 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai
berikut[5] :
1.
Dihukum dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,-
(dan milyard rupiah) terhadap : pelaku usaha yang memproduksi atau
memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran,
jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan
dalam label atau keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku
usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ),
memperdagangkan barang rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku
usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau
perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b )
2.
Dihukum dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku usaha yang melakukan penjualan
secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan konsumen dengan menaikkan harga
atau tarif barang sebelum melakukan obral, pelaku usaha yang menawarkan barang
melalui pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu yang telah
diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan yang tidak memuat
informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
3.
Terhadap pelanggaran yang
mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan
ketentuan pidana yang berlaku.
Sedangkan dalam pasal 63
Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut terhadap
sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman
tambahan, berupa:
1. Perampasan
barang tertentu;
2. Pengumuman
keputusan hakim;
3. Pembayaran
ganti rugi;
4. Perintah
penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
5. Kewajiban
penarikan barang dari peredaran; atau
6. Pencabutan
izin usaha.
3.3. Peran pemerintah dalam kaitannya dengan hukum perlindungan konsumen, khususnya pada
jasa biro perjalanan
Pemerintah dalam upaya perlindungan konsumen mempunyai peran yang
penting selaku penengah di antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan konsumen , agar masing masing pihak dapat
berjalan seiring tanpa saling merugikan satu sama lain. Pemerintah harus
bertanggungjawab atas pembinaan dan pengawasan penyelenggarakan perlindungan
konsumen, untuk menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta di
laksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha di atur di dalam pasal 29 dan
pasal 30 UU no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Peran pemerintah sebagain pengawas merupakan fungsi yang penting
unuk melindungi masyarakat. Tanpa adanya pengawasan yang baik, dikhawatirkan
konsumen tidak akan terlindungi dari pelaku usaha jasa biro perjalanan. Oleh
karena itu, peraturan yang dikeluarkan akan menjadi suatu jaminan yang dapat
menekan pelaku usaha untuk dapat memperlakukan konsumen dengan sewajarnya. Pada
akhirnya pemerintah sebagai penengah dalam upaya mencari pemecahan masalah
apabila terjadi sengketa antara pelaku usaha dan konsumen yang disebabkan
pelanggaran terhadap berbagai peraturan yang telah di tetapkan, justru
mengakibatkan kerugian terhadap konsumen.Dalam penyelesaian masalah konsumen
serta dalam menciptakan iklim usaha yang sehat, dan hubungan yang sehat antara
pelaku usaha dengan konsumen, pemerintah melakukan koordinasi dengan instansi
terkait untuk mengambil suatu kebijakan di bidang perlindungan konsumen.[6]
Perlindungan terhadap konsumen yang dilakukan oleh pemerintah dalam
hal pembinaan dan pengawasan. Berdasarkan ketentuan pasal 2 peraturan perintah
nomor 58 tahun 2001 tentang pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
perlindungan konsumen , dikatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas
pembinaan perlindungan konsumen yang menjamin di perolehnya hak konsumen dan
pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
Sedangkan dalam hal pengawasan pemerintah, diatur lebih lanjut dalam ketentuan
pasal 7 dalam peraturan pemerintah yang sama. Bahwa dikatakan pengawasan
terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen dan penerapan ketentuan peraturan
perundang undangannya dilakukan oleh pemerintah, masyarakat dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat.Dengan demikian menjadi jelas, bahwa
pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi masyarakat sebagai
konsumen.
Maka apabila ditinjau dari segi hak dan tanggung
jawab dimana masyarakat sebagai konsumen harus dilindungi oleh pemerintah, maka hal ini sejalan sebagai mana diatur dalam ketentuan pasal 29 UU nomer 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
yang menyatakan sebagai berikut :
1.
Pemerintah bertanggung jawab
atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya
hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan
pelaku usaha.
2.
Pembinaan oleh pemerintah atas
penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh mentri dan/atau menteri teknis terkait.
3.
Menteri sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen
4.
Pembinaan perlindungan konsumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk:
a.
Terciptanya iklim usaha dan
timbulnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen,
b.
Berkembangnya lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat,
c.
Meningkatnya kualitas sumber
daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang
perlindungan konsumen.
5.
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan peraturan
pemerintah.
Selain itu pengawasan dan tindakan hukum
juga dapat di lakukan.Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk
menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang
akan dicapai. melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan
yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara
efektif dan efisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang
berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan
kerja sudah dilaksanakan.Pengawasan juga dapat mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan
dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan
kerja tersebut.
Konsep pengawasan demikian sebenarnya
menunjukkan bahwa pengawasan merupakan bagian dari fungsi manajemen, di mana
pengawasan dianggap sebagai bentuk pemeriksaan atau pengontrolan dari pihak
yang lebih atas kepada pihak di bawahnya. Pengawasan merupakan suatu proses yang
terus menerus yang dilaksanakan dengan jalan mengulangi secara teliti dan
periodik. Di dalam melakukan pengawasan haruslah diutamakan adanya kerjasama
dan dipeliharanya rasa kepercayaan.[7]Jaminan
tercapinya tujuan dengan mengetahui perbedaan-perbedaan antara rencana dan
pelaksanaan dalam waktu yang tepat sehingga dapat diadakan perbaikan-perbaikan
dengan segera dan mencegah berlarut-larutnya suatu kesalahan.
Adapun bentuk-bentuk pengawasan yang
dilakukan oleh pemerintah, terbagi menjadi 2 macam, yaitu:
1. Pengawasan
Preventif, yaitu pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan sebelum
kegiatan itu dilaksanakan, sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan.
Apabila dikaitkan dengan pengawasan yang dilakukan oleh BPOM dalam bidang obat
dan makanan, maka pengawasan preventif ini adalah merupakan pengawasan yang
bersifat mencegah terjadinya kerugian konsumen.
2. Pengawasan
Represif, yaitu pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan setelah
kegiatan itu dilakukan. Atau dengan kata lain tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah setelah terjadinya suatu masalah.
Perlindungan konsumen merupakan tanggung
jawab semua pihak yaitu pemerintah, pelaku usaha, organisasi konsumen dan
konsumen itu sendiri.tanpa adanya andil dari keempat unsur tersebut, sesuai
dengan fungsinya masing-masing, maka tidaklah mudah mewujudkan kesejahteraan konsumen.[8]Pemerintah
harus bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen, untuk
menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya
kewajiban konsumen dan pelaku usaha.Selain pembinaan, peranan pemerintah yang
cukup pentingadalah pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Hal ini sesuai dengan ketentuan yang
tercantum di dalam ketentuan pasal 30 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, yang mengatakan:
1. Pengawasan
terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan
peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat,
dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
2. Pengawasan
oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri
dan/atau menteri teknis yang terkait.
3. Pengawasan
oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan
terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
4. Apabila
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri
dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
5. Hasil
pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan
kepada menteri dan menteri teknis.
6. Ketentuan
pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan
ketentuan pasal 30 tersebut, maka diketahui bahwa pemerintah bertindak sebagai
pengayom masyarakat dan juga sebagai pembina pelaku usaha dalam meningkatkan
kemajuan industri dan perekonomian negara.Bentuk perlindungan konsumen yang
diberikan adalah dengan mengeluarkan undang-undang, peraturan-peraturan
pemerintah, penerbitan Standar Mutu Barang.[9]Disamping
yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan pengawasan pada penerapan
peraturan, ataupun standar-standar yang telah ada.Fungsi pengawasan terhadap
produk pangan juga harus dilakukan oleh pemerintah.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil diskusi kelompok yang
kami lakukan serta kajian teori yang kami peroleh dari berbagai sumber mengenai
hukum perlindungan konsumen, kami menarik beberapa kesimpulan seperti:
Perlindungan hukum bagi
pengguna jasa biro perjalanan telah diatur dalam UUPK, apabila terjadi sengketa
antara konsumen pengguna jasa biro perjalanan dengan pelaku usaha maka dapat
diselesaikan melalui penyelesaian non
litigasi dan penyelesaian secara litigasi.
Pelaku usaha biro perjalanan bertanggung jawab terhadap produk yang
ditawarkannya kepada konsumen. Apabila terjadi hal-hal yang merugikan konsumen
akibat suatu kegiatan yang berhubungan dengan produk yang didistribusikannya
kepada konsumen, maka pelaku usaha bertanggung jawab untuk mengganti kerugian
tersebut meskipun tanggung jawab tersebut hanya terbatas pada tanggung jawab
sesuai profesi (Strict Professional
Liability) yaitu tanggung jawab sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati dengan konsumen akibat kelalaian pelaku usaha telah menimbulkan
kerugian pada konsumen.
Sanksi bagi Pelaku Usaha yang merugikan
konsumen pengguna jasa biro perjalanan telah diatur dalam dalam pasal 62 Undang-undang
No. 8 tahun 1999 tentang “Perlindungan Konsumen” dimana dalam pasal tersebut
mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha dan
sangsi yang diberlakukan. Sedangkan dalam pasal 63 Undang-undang No. 8 tahun
1999 yang juga mengatur tentang “Perlindungan Konsumen” tersebut terhadap
sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman
tambahan yang berupa: perampasan barang tertentu, pengumuman keputusan hakim,
pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan
timbulnya kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang
dari peredaran atau pencabutan izin usaha.
Pemerintah dalam upaya perlindungan
konsumen mempunyai peran yang penting selaku penengah di antara kepentingan
pelaku usaha dan kepentingan konsumen.
Pemerintah dalam hal ini bertanggungjawab atas pembinaan dan pengawasan
penyelenggarakan perlindungan konsumen , untuk menjamin diperolehnya hak
konsumen dan pelaku usaha serta di laksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku
usaha di atur di dalam pasal 29 dan pasal 30 UU no 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen.
Dalam penyelesaian masalah konsumen
serta dalam menciptakan iklim usaha yang sehat, dan hubungan yang sehat antara
pelaku usaha dengan konsumen, pemerintah melakukan koordinasi dengan instansi
terkait untuk mengambil suatu kebijakan di bidang perlindungan konsumen.Pemerintah
bertindak sebagai pengayom masyarakat dan juga sebagai pembina pelaku usaha
dalam meningkatkan kemajuan industri dan perekonomian negara.Bentuk
perlindungan konsumen yang diberikan adalah dengan mengeluarkan undang-undang,
peraturan-peraturan pemerintah, penerbitan Standar Mutu Barang.[10]Disamping
yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan pengawasan pada penerapan
peraturan, ataupun standar - standar yang telah ada.Fungsi pengawasan terhadap
produk pangan juga harus dilakukan oleh pemerintah.
Oleh karena itu dalam
pelaksanaannya Undang-Undang perlindungan konsumen di Indonesia saat ini harus
lebih di tegakkan lagi agar tujuan dari pada undang undang itu sendiri dapat
terlaksana dengan baik, sehingga undang undang ini betul betul dapat menengkat
harkat dan martabat konsumen serta dapat memberikan kepastian hukum yang jelas.Agar
konsumen tidak menjadi korban pelaku usaha yang tidak bertanggungjawab dan para
konsumen tidak merasa khawatir atau takut untuk menggunakan jasa atau produk
dari pelaku usaha tersebut.
4.2.
Saran
Dalam perlindungan konsumen ini, ada beberapa saran
yang ditujukan kepada beberapa pihak, diantaranya:
4.2.1.
Untuk Pemerintah
Sehubungan dengan semakin meningkatnya pembangunan
di Indonesia dimana keterbatasan pengetahuan konsumen mengenai kawajaran mutu
dan harga barang atau jasa selama ini telah menempatkan posisi konsumen sebagai
mangsa produksen/pelaku usaha dan oleh sebab itu sudah saatnya Pemerintah
Republik Indonesia untuk membentuk, menata serta meningkatkan hukum
perlindungan konsumen di Indonesia.
Pemenuhan
hak-hak konsumen sebagai salah satu pelaku usaha sehingga tercipta kenyamanan
dalam transaksi perdagangan yang mempertegas tanggungjawab pelaku usaha
sebagaimana diatur dalam undang-undang sehingga tidak merugikan
konsumen.Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan
konsumenyang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta
dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.Pengawasan terhadap
penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan
perundang undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat,dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
4.2.2.
Untuk
konsumen
a. Konsumen
diharapkan lebih teliti dalam memilih suatu produk barang maupun jasa.
b. Konsumen
diharapkan selalu mempertahankan hak mereka.
[1] Celina Tri Siwi
Kristiyanti, SH, M.Hum, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika,
Jakarta, 2009, hlm 22
[2] Prof. Dr. Ahmadi
Miru, SH, MH, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di
Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2011, hlm 20
[3]UUPK No.8 Tahun 1999
pasal 1 ayat 2.
[4]Pasal 1 ayat 3 UUPK.
[5]Pasal 62 UUPK.
[6] Republik Indonesia,
Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lihat juga
Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen:
Kemungkinan Penerapan Tanggung jawab Mutlak, Cet. (Jakarta: Program Pasca
sarjana Universitas Indonesia, 2004)
[7]Ninik Widiyanti dan Y.W. Sunidha, Kepala Daerah dan Pengawasan Dari Pusat,
Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987, hlm. 49.
[8]Ahmadi Miru, dan Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan
Kedua, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 110.
[9] Ibid
[10] Ibid
0 komentar:
Posting Komentar